Winter dan Seasonal Affective Disorder

Musim dingin awal tahun 2017…

Kumulai mengenakan jaket tebal, topi kupluk yang menutup sampai telingaku, dan syal yang selalu kulilitkan di leher. Betapa tubuh yang selalu bersahabat dengan musim tropis dan panasnya pantai utara, rasanya tak cocok denga  suhu yang bisa mencapai empat derajat celcius. Musim dingin membuat porsi makanku lebih banyak, dan ngopi yang lebih sering.

Aku dulu suka sekali lihat film-film dengan setting tempat bersalju. Bisa main lempar-lemparan bola salju dan main sky. Namun rupanya winter yang kualami tak seindah ekspektasiku. Paper yang harus kubaca, tugas-tugas kuliah yang menumpuk, riset yang gak tahu mau dikemanakan, uang di rekening yang semakin limit, pertengkaran dengan teman, kondisi itu ditambah dengan jarang munculnya matahari sebagai energi penyemangat. Hingga aku menyebut diriku mengalami depresi.

Aku bingung dengan diriku sendiri, aku tak pernah mengalami mood seperti ini. Malas yang berlebihan, malas berinteraksi sosial, hingga aku bisa tiba-tiba menangis. Menangis sendiri di kamar asrama, menangis di pojokan perpustakaan, menangis tengah malam di laboratorium, dan diri ini semakin tidak mengerti dengan keadaan diri. Sampai aku mencari tahu apa penyebab diri seperti ini? Sampai tak sengaja aku menemukan salah satu status temanku di facebook yang sedang studi di Belanda, rupanya mengalami hal yang sama. Ia menyebutnya Seasonal Affective Disorder, sebuah sindrom karena perubahan musim dingin. Ia menceritakan bahwa di kala musim dingin, angka kematian karena bunuh diri di Belanda meningkat, jalur kereta sering dipindahkan tiba-tiba karena ada yang bunuh diri di situ.

Di titik seperti itu aku mulai merindukan lingkungan yang kondusif, yang mendukungku, yang membantuku untuk mendekatkan diri kepada Rabbku, namun nihil, aku belum menemukannya. Lingkungan sekitarku dipenuhi lingkungan yang di kala stress adalah melepaskannya dengan minum beer hingga mabuk, mereka banyak yang tak mengimani Tuhan.

“Just have fun Zam,” kalimat itulah yang sering aku dengar di kala aku menceritakan kondisiku. Aku drop. Sampai aku berinisiasi mendatangi psikolog di kampusku. Aku datang dengan muka pucat, seorang psikolog berusaha memahami keadaanku, “You look so lost energy,” kurang lebih katanya seperti itu. Ia menyediakan air putih untukku. Aku menceritakan tentang keadaanku. Aku tidak berharap banyak psikolog ini akan membantu menyelesaikan permasalahanku, tapi setidaknya aku hanya ingin mencoba fasilitas gratis dari kampusku. Tak banyak yang kudapat darinya tapi setidaknya aku telah menceritakan kondisiku.

Aku berusaha untuk menghandle diriku sendiri dengan mencoba menyibukkan diri, olahraga, banyak ngobrol denga teman-teman, jujur itu gak mudah. Dari situ aku belajar pentingnya memahami orang lain, ada banyak alasan kita untuk tidak menjudge apa yang orang lain lakukan. Kita tidak tahu detail latar belakang dia melakukan perbuatan itu. Mereka yang depresi, tak layak kita hanya menjudge lemahnya iman mereka. Bisa jadi lingkungan sosial, tuntutan sosial, kondisi kesehatan jiwa setiap orang yang berbeda bisa jadi yang menyebabkan ia depresi.

Seperti aku di sini, di balik foto-foto indah yang kadang kushare di sosial media tidak hanya cerita tentang gembiranya jalan-jalan, bisa jadi itu hanyalah salah satu foto di sela kesibukkanku dan rasa jenuhku dengan rutinitas dan tuntutan studi. Ada ekspektasi yang tinggi dari kerabat di Indonesia yang menganggap kita yang bisa kuliah ke luar negeri adalah anak-anak yang pintar. Tuntutan sosial seperti itulah yang kadang membuat kita bisa menjadi tertekan.

Aku menderita karena sindrom tersebut sekitar tiga bulan, yang membuat mukaku pucat, sampai aku pernah mengecek tensiku di atas 145 dimana aku normalnya hanya 120. Ada banyak hal-hal yang kulakukan agar diri ini sembuh, sambil terus berdoa kepada Rabbku, “Ya Allah kuatkan hamba-Mu ini”. Dr Cara Lin yang tahu kondisiku seperti ini pun menawariku sunbox, semacam lampu untuk menghangatkan diri.

Hingga sebuah hari cerah di tengah winter membuatku tiduran di tepi danau kampus sembari berjemur sinar matahari. setidaknya sinarnya membuatku sedikit ceria di tengah winter ini…

531

Leave a comment